2014,
This year I loved. This year I hurted. This year I have lost. This year I have changed. This year was hard and difficult. But, the most important is I learned a lot. I met many great people. I did many things that was awesome and I was very thankful for it. Every things I have learned so told me, this is life. People come and go. I could be stranger with the people that I have loved. And I could be in love with the stranger. All my happiness and sadness may matured me.
So, stand up and realize that you deserve something better than a person that gives up on you.
Terima kasih untuk 365 hari yang penuh dengan pelajaran, wahai 2014. Saya tidak akan pernah menyesal dengan apapun yang telah saya lewati di tahun 2014. Semua hal pasti ada masanya. S-e-m-u-a-n-y-a. Seperti seseorang yang telah rela hadir dalam hidup saya di tahun 2014 ini. Terima kasih telah hadir meskipun akhirnya memilih pergi. You're my number one. You're still the one and only in my heart, for this year, next year and maaany years later.
Can We be the friend again in 2015? I hope.
Terima kasih 2014 dan selamat tahun baru 2015.
kuni-zr
Hanya ingin membagi apa yang dipikirkan dan dirasakan lewat tulisan~
Rabu, 31 Desember 2014
Rabu, 12 November 2014
for a
It still hurts when I hear or read your name.
I know what we had is over, but it's just so hard to think we used to text for ours. Look at us now, we're strangers again. And by the way, it's the loneliest thing in the world to see you everyday and remember that you once meant the world to me.
your fuckin lover.
I know what we had is over, but it's just so hard to think we used to text for ours. Look at us now, we're strangers again. And by the way, it's the loneliest thing in the world to see you everyday and remember that you once meant the world to me.
your fuckin lover.
Jumat, 07 November 2014
after five months ago
Sudah hampir lima bulan sejak kita memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri lagi. Aku dengan duniaku, dan kamu dengan duniamu. Namun, ternyata pikiranku masih terbelenggu oleh bayangmu.
"Habis ini lalu apa? kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?" - dewi lestari.
"Habis ini lalu apa? kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?" - dewi lestari.
Minggu, 31 Agustus 2014
Hai September, Hai Tuan.
Selamat pagi...
Secerah matahari pagi, siapapun kamu yang membaca ini, semoga hatimu secerah matahari pagi ini.
Tiga ratus tiga puluh lima hari yang lalu, dalam blog ini pula, aku menulis "Terima Kasih, September", sekarang September sudah hadir lagi, hadir dengan sejuta harapan baru.
Semoga September tahun ini benar-benar menjadi bulan milik Tuan (dan milik saya pula).
Me.
Secerah matahari pagi, siapapun kamu yang membaca ini, semoga hatimu secerah matahari pagi ini.
Tiga ratus tiga puluh lima hari yang lalu, dalam blog ini pula, aku menulis "Terima Kasih, September", sekarang September sudah hadir lagi, hadir dengan sejuta harapan baru.
Semoga September tahun ini benar-benar menjadi bulan milik Tuan (dan milik saya pula).
Me.
Selasa, 05 Agustus 2014
Seribu Mawar Dalam Diam
“Lelahmu jadi lelahku juga, bahagiamu
bahagiaku pasti…
Berbagi takdir kita selalu kecuali
tiap kau jatuh hati…”
Suara di ujung i-pod kecil
berwarna putih sedikit keabu-abuan karena sudah terlalu lama berada di tanganku
itu masih terus melantun. Iya, Malaikat Juga Tahu. Entah apa sebabnya aku bisa
jatuh cinta pada lagu tersebut, yang jelas, aku selalu memutarnya saat berada di
ujung jalan raya di depan salah satu pusat perbelanjaan besar di kotaku, sambil
menunggu angkutan kota ketika akan berangkat ke sekolah.
Jarak dari rumahku ke sekolah memang tidak jauh, mungkin sekitar
15 menit jika ditempuh menggunakan angkutan kota atau lebih kece dengan sebutan
angkot, namun akan lebih cepat lima menit jika ditempuh dengan sepeda motor.
Ya, jika naik sepeda motor bisa melalui jalan pintas. Namun, aku enggan jika
harus berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor. Aku lebih senang jika
pergi ke sekolah beramai-ramai bersama teman-teman.
Belakangan ini, setiap pagi aku selalu rapi dan siap untuk pergi
ke sekolah. Aku selalu bersemangat jika urusan sekolah. Bagiku, di sekolah aku
bisa melakukan kegiatan apapun yang aku suka. Bertemu teman-teman, ngejailin
adik kelas dan makan mie ayam favoritku di kantin. Berkebalikan. Beda ketika
sudah berada di rumah, rasanya aku tidak
ingin benar-benar menjadi diriku ketika berada dirumah. Sepi.
Sepeninggalan ibuku sekitar 2 bulan yang lalu. Aku merasa ada
separuh dari jiwaku yang ikut pergi bersamanya. Selamanya dan tak pernah
kembali. Mungkin, disana ibu sudah bahagia di tempat barunya, namun, aku masih
saja sering meneteskan air mata ketika mengingat semua momen yang telah
terlewati bersama ibu, atau hanya memandangi fotonya yang terbingkai dengan
indah, akupun sering menangis.
Tepat 2 minggu lagi aku akan mengikuti Ujian Nasional tingkat SMA.
Saat UNAS tingkat SMP 3 tahun lalu, Ibulah satu-satunya orang yang tak pernah
lelah selalu menyemangatiku untuk belajar dengan giat.
“Kamu harus rajin belajar, Nak. Ibu pasti akan bangga jika kamu
bisa meraih semua impianmu.” Begitulah yang selalu Ibu ucapkan padaku. Dan
kini, kata-kata itu masih memenuhi seluruh bagian kepalaku. Berotasi semaunya
dan enggan pergi. Aku rinduuuuu sekali pada Ibu.
Namun, tidak untuk sekarang. Semuanya telah berubah seratus
delapan puluh derajat. Saat UNAS tahun ini. Mungkin, Tuhan akan mengangkat
derajatku dengan cobaan ini. Cobaan yang terlampau berat bagiku. Tanpa
kehangatan sosok Ibu.
---
“Ah siaaaaaaaaall aku kesiangan” ucapku kesal. Aku langsung
bergegas menuju kamar mandi.
Tidak seperti biasanya. Pagi ini aku terlambat bangun. Mungkin karena
semalam, aku terlalu lelah mengerjakan tugas-tugas sekolahku, padahal hari ini
ada ulangan Fisika. Ah entahlah apa yang akan terjadi nanti di sekolah.
“Aisyaaaaaaaahhhh…….”
Teriakan yang selalu aku dengar setiap pagi. Sudah tidak asing
lagi di telingaku. Ah Rizki.
“Loh, kenapa lo belum masuk kelas? Oh iya, kok bisa sih pintu
gerbang belum ditutup? Ah padahal gue kira gue udah pasti telat nih.”
“Pak satpam tercinta kita hari ini absen. Katanya sih lagi pergi,
jadi……..”
“Jadi gue gak telat!”
Aku menarik tangannya sambil berlalu. Ia terbahak dengan
tertawanya yang khas. Sesedih apapun jika sudah bersama Rizki semua menjadi
beda. Menuju kelas sebelum jam pertama dimulai.
---
“Hari ini kita ke taman yuk, Ai. Bosen nih gue ketemu buku mulu. Refreshing dikit lah.”
“Aaaah….. Iyadeh tau sahabatku yang paling rajin.” nada bicaraku
sedikit menggodanya.
“Gue serius nih, Ai. Gue jemput lo jam 4 sore. Pokoknya lo udah
harus siap di depan rumah lo.”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk jika sudah dihadapkan dengan
tatapan memelasnya yang sulit untuk ditolak. Rizki memang paling jago merayuku.
Dan, Rizki membuatku membatalkan janjiku kepada Riana untuk mengantarkannya ke
Sarinah untuk membeli sepatu yang katanya lagi nge-trend saat ini. Ah semoga saja Riana bisa memaklumiku.
---
“Taman ini lebih indah dari biasanya ya, Ai.”
“Lah apanya yang beda, Ki?”
Jawabanku seolah memang tidak mengerti dengan pernyataan Rizki,
padahal dalam hatiku, aku sangat setuju dengannya. Ya, taman ini memang lebih
indah dari biasanya. Entah apa yang membuatnya lebih indah.
“Soalnya gue lagi duduk sama bidadari jatuh dari surga.”
“Lah apaan sih lo, Ki, gue bidadari jatuh dari motor lo karena lo
ngerem mendadak tadi.”
Rizki lalu tertawa terbahak dengan ke-khas-annya. Sedangkan aku
memasang muka bete. Rizki memang sering dan terlampau sering menggodaku seperti
ini. Tapi entah mengapa, dia juga selalu berhasil membuatku mendadak bete. Ah ternyata
aku belum juga kebal dengan rayuannya.
Tidak seperti biasanya saat berdua bersama Rizki, kali ini kita
berdua sama-sama diam. Hening. Dan hanya suara angin sore yang terdengar.
Kadang terdengar riuhan anak-anak kecil yang asyik bermain di taman pasir di
sudut taman ini.
“Gue mau ngomong sesuatu, Ai.” Akhirnya suara Rizki berhasil
memecah keheningan yang tercipta. Tercipta karena ego kita berdua? Ah mungkin
tidak.
“Mau ngomong apa lo? Ngomong aja kali biasanya lo langsung nyablak
gitu kan.” Aku berusaha santai menjawab pertanyaan Rizki. Berusaha santai? Ah
memangnya aku sedang berbicara dengan siapa? Menteri? Presiden? Aku hanya
berbicara dengan sahabatku. Rizki. Aku tertawa dalam hati.
Rintik air hujan menetes di keningku. Awalnya tidak terlalu deras,
tapi lama-kelamaan berubah menjadi hujan yang deras, bersama angin yang
mengikutinya. Aku dan Rizki berlari kemanapun menuju tempat yang bisa kita
singgahi untuk berteduh sementara, sampai akhirnya kita berada pada sebuah
warung. Tidak besar namun tidak juga terlalu kecil. Setidaknya aku dan Rizki
tidak lagi kehujanan.
“Mas sama Mbaknya mungkin mau minum?”
Suara pemilik warung tersebut terdengar ramah, logat orang jawa.
Iya, mungkin benar pendatang dari Jawa. Warung-warung di sekitar taman kota ini
memang tak ada satupun yang pemilik warungnya berasal dari Jakarta. Seluruhnya
pendatang dari berbagai macam pulau di Indonesia.
“Saya mau jahe hangat saja, Bu.” aku membalasnya dengan senyuman
yang tak kalah ramah dari Ibu pemilik warungnya.
“Saya juga, Bu.” Rizki menimpali ucapanku. Ia tersenyum.
Maniiiiisss sekali.
Setelah berbincang-bincang sambil meminum jahe hangat di warung yang
ternyata nama pemiliknya Bu Mirna, sekitar 30 menit, akhirnya hujan mulai reda.
Aku membayar kemudian buru-buru mengajak Rizki pulang.
“Kenapa buru-buru gitu sih, Ai?”
“Lo gak denger adzan noh? Ini udah magrib nyet buruan deh lo bawa
motornya.”
Rizki mengangguk menandakan mengerti. Ia buru-buru tancap gas
mengendarai beat putihnya. Selamatlah karena jalanan Jakarta saat itu tidak
terlalu padat.
“Makasih ya nyet, buruan pulang deh ntar lo dicari ibu kost lo
yang paling galak sedunia. Oh iya buat yang mau lo omongin tadi, besok aja di
sekolah ye.”
Aku menutup pagar rumah dan langsung masuk. Tapi Rizki masih saja
berdiam diatas motornya. Memang kadang dia sedikit lola. Tapi dia terlampaui
baik untukku.
---
Hari ini tepat H-7 menuju UNAS. Aku masih sibuk dengan berbagai
buku persiapan UNAS. Bimbingan belajar dan doa bersama. Tapi sesibuk apapun aku
tak pernah seharipun tak bertemu dengan Rizki. Manusia satu itu rupanya sudah
memiliki magnet untuk selalu menarikku dekat-dekat dengannya. Tapi, tak pernah
sekalipun aku merasa bosan dengan Rizki. Kadang, dia bak pahlawan yang selalu
membelaku. Kadang, dia juga menjelma sebagai Sule bagiku, yang selalu menghiburku
ketika aku rindu pada Ibu.
“Eh yang kapan hari itu lo belom cerita ye? Cerita gih sekarang.”
“Gak ah gue malu, Ai.”
“Tumben-tumbenan lo punya malu.” Kali ini aku tertawa terbahak
sambil menepuk pundaknya.
“Ah lo gak lucu tau, Ai. Gue serius nih.” Rupanya Rizki
benar-benar serius. Air wajahnya memang benar-benar serius. Iya. Serius.
“Yaudah Rizki yang paling ganteng 11-12 sama Christian Ronaldo,
cerita gih. Gue juga ada yang mau gue certain sama lo, dan ini penting banget
lo harus tau.”
“Gue tuh naksir sama cewek, Ai, udah lumayan lama sih. Cewek itu
pokoknya beda banget lah sama cewek lainnya. Cantik, baik, pinter, pokoknya gue
udah terlanjur sayang banget sama dia.”
“Beuuuh, sedap mah cerita lo nyet. Kenapa lo baru cerita sekarang
sih? Tau gitu kan gue bisa bantuin lo daridulu. Yaudah tembak aja deh cepet
keburu dia diembat orang lain kan.”
“Nah itu yang jadi masalahnya, Ai, gue belum juga berani ungkapin
ke dia, gue takutnya dia gak punya perasaan yang sama kayak apa yang gue
rasain.”
“Ah lo upay banget sih, Ki.” Kali ini aku menyebut namanya. Tak
lagi dengan panggilan ‘nyet’-ku yang khusus kuberikan untuknya. Kali ini
suasananya cukup mencekam. Rizki sedang jatuh cinta. Ini yang pertama kalinya
aku mendengar curhatan Rizki tentang cinta. Sebelum-sebelumnya, aku selalu
mendengar curhatannya tentang ibu kost-nya. Ah aku sudah hafal diluar kepala
tentang ibu kost Rizki.
“Gue bingung, Ai. Ah tapi gue mau fokusin diri gue buat hadepin
UNAS dulu. Gampang deh ntar abis UNAS gue coba. Lo mau cerita apa, Ai?”
“Gue baru aja taken,
Ki!” aku menatap Rizki dalam-dalam. Kutunjukkan senyumanku paling meriah, tapi
Rizki terlihat lebih murung. 6 tahun bersama Rizki membuat aku hafal benar
mimik-mimik wajahnya. Dan kali ini aku tau ia terpaksa memasang senyumnya
untukku.
“Lo jadian? Gila Aisyah, seminggu lagi tuh UNAS dan lo malah
jadian? Bener-bener parah lo!”
“Iye iye gue tau, Ki, maksut gue itu gue bakal buktiin sama semua
orang yang bilang kalau pacaran itu cuma bisa ganggu akademik lah, gak guna
lah, atau apa aja yang pernah gue denger. Gue pengen buktiin ke mereka semua.
Termasuk elo, Ki.” Kali ini aku benar-benar menatap Rizki tajam. Meyakinkannya.
“Jadi lo gak bener-bener cinta gitu sama pacar lo? Emang siapasih?
Gue kepo gilaa.”
“Ya gue cinta lah, Ki. Lo tau kan gue gak bakal mau pacaran kalau
cuma dijadiin mainan? Pacar gue tuh anak futsal, kapten tim futsal SMA
Nusantara tercinta ini bro… nama aslinya sih Al-Ghifari, tapi dia biasa
dipanggil Al sama temen-temennya.”
“Al? Al anak XII-IPA2? Gila lo, gue gak pernah liat lo deket sama
dia deh. Bisa-bisanya ya jadian. Parah gila lo, Ai.”
“Hahahaha hebat kan gue bisa rahasiain dari lo.” Lagi-lagi gue
tertawa dan tertawa. Tapi Rizki masih biasa saja dengan semua yang sudah
kuceritakan panjang lebar padanya.
---
Jam sekolah hari ini berakhir tepat pukul 14.00. Sesampainya di
rumah, secepat mungkin aku rebahkan badanku yang sudah remuk berkeping ini.
Hari ini cukup dan sangat melelahkan.
---
“Rencananya lo mau lanjutin sekolah dimana, Ki?”
Entah setajam apa pertanyaanku itu bagi Rizki, hingga ia tersedak
kaget. Aku lantas menepuk-nepuk punggungnya sebagai tanda perhatianku. Setelah
keadaan membaik, Rizki tidak secepatnya menjawab. Ia hanya terdiam dan sedikit
melamun.
“Kalau gue sih Jakarta ajalah. Tapi gue pengen banget sebenernya
kuliah di Bali, ya lo tau lah gue pengen jadi tour-guide professional gitu.”
“Tapi lo kan cewe, Ai, lu itu harusnya jadi anak kampus yang baik
yang ntar kerjanya di kantoran.”
“Kantoran ber-AC yang duduk di kursi goyang gitu? Ah basi lo, Ki.”
Aku mengerti maksud Rizki mengalihkan perhatianku dari
pertanyaanku tadi. Ah, aku tidak bisa tertipu. Aku terus mengejar jawaban Rizki
atas pertanyaaku tadi.
“Jadi, lo mau lanjutin dimana, Ki?”
“Ntar juga lo bakal tau, Ai.”
Dan, Rizki masih kekeuh merahasiakannya dariku. Dari pengalamanku
bertahun-tahun jadi sahabat paling dekatnya, aku paham betul jika Rizki mulai
sembunyi-sembunyi dariku. Dia ada apa-apa.
---
Sudah lama sejak sibuk dengan persiapan Ujian Nasional, aku tidak
pergi ke bioskop, dan malam ini kuputuskan akan mengajak Al nonton film
terbaru. Hubunganku dengan Al semakin erat. Tanpa kusadari hubungan ini
ternyata telah kujalani hampir dua bulan. Aku selalu terpesona entah keberapa
kalinya jika berdua dengan Al. Al mampu menguasai seluruh sudut di otakku, yang
memaksaku untuk terus memikirkannya. Jika malam datang, wajahnya pun ikut
datang bersama bintang-bintang yang bercahaya. Ah sepertinya aku benar-benar
jatuh hati.
Setelah dari bioskop, Al mengajakku makan malam. Ini dinner
pertama kami. Di sebuah restoran mahal di Jakarta Barat. Al memang orang yang
misterius, tapi di sisi lain ternyata dia sama seperti laki-laki di Ftv yang
ngebawain bunga buat pacarnya. Iya, Al romantis.
“Terimakasih buat dua bulan
yang indah ini ya, Aisyah. Kamu adalah sosok penting bagi hidupku. Aku harap,
masih ada tanggal 9 yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya”
“Justru harusnya aku yang berterimakasih sama kamu, Al. Kamu
adalah alasan senyumanku setiap hari. Alasanku untuk semangat. Selamat tanggal
9!”
Tidak mencoba sok romantis atau memang benar-benar romantis, malam
itu adalah tanggal jadian kita yang kedua kalinya, tepat dua bulan dari 9 April.
Tidak ada lilin atau coklat yang menghiasi pemandangan diantara kita berdua
malam itu. Hanya dinner kecil-kecilan ditemani lagu Just The Way You Are-nya Bruno Mars. Sumpah demi apapun, Al ganteng
malam itu.
---
Sekitar satu bulan setelah malam itu, entah mengapa hubunganku dan
Al semakin tidak harmonis. Kami sering mempertengkarkan hal sepele yang tidak
pernah kami hiraukan sebelumnya. Al bilang aku terlalu ingin dimanja,
diperhatikan dan disayang-sayang. Cewek mana sih yang nggak pengen di manjain
cowoknya? Cewek mana sih yang nggak mau diperhatikan pacarnya? Dan cewek mana
sih yang nggak luluh di elus-elus rambutnya pas lagi sedih sama kekasihnya? Aku
selalu ngertiin Al, selalu ngalah supaya Al nggak bete, tapi, bukankah cinta
harus saling melengkapi? Jika hanya ada satu pihak yang berjuang, apa masih
bisa disebut cinta? Kami sudah nggak bisa lagi terus-terusan ada di keadaan
seperti ini. Keadaan ini terlalu menyakitkan bila harus terus ditahan. Sudah
lebih dari satu kali Al selalu memberi alasan ketika akan aku ajak pergi, hanya
sekadar makan malam. Al selalu bilang dia lagi latihan futsal lah nganterin
adeknya lah dan selalu begitu.
Pernah suatu hari ketika aku ajak Al pergi ke toko buku, ia
menolak.
“Aku lagi nggak enak badan, Ai”
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri tanpa Al dan tanpa
Rizki. Biasanya, aku selalu pergi ke toko buku ini bersama Rizki kemudian kita
mampir ke kafe es krim di sebelah toko buku. Kafe itu tidak terlalu besar,
dindingnya ber-wallpaper air terjun. Aku dan Rizki sangat suuuuka sekali dengan
air, awalnya karena kita sering menghabiskan waktu kecil di sebuah kolam ikan
di dekat rumah Rizki. Nggak perlu kemana-mana, kalau lagi bosen dan badmood, aku langsung ke kafe ini.
Pemiliknya ramah, Om Roy namanya, sejak SMP kita selalu mampir kesini tiap
pulang sekolah.
Pas lagi baca-baca buku, nggak sengaja pandanganku terarah pada
seorang cowok dan cewek yang tampaknya mereka sepasang kekasih, bergandengan
mesra. Tapi, sepertinya aku kenal dengan cara berjalan sang cowok. Kuamati
terus hingga mereka membalikkan wajahnya ke arahku, dan ternyata…AL! Aku sempet
nggak percaya kalau itu Al, aku buka mataku lebar dan semakin lebar, dan benar
itu Al. Betapa terkejutnya aku saat itu, melihat dengan mata kepalaku sendiri
cowok yang katanya lagi sakit di rumah ternyata jalan berdua sama cewek lain.
Hatiku kayak ditusuk oleh ratusan bambu runcing sekaligus. Sakit.
Setelah kejadian malam itu, aku tidak pernah menghubungi Al. Aku
selalu berangkat lebih awal untuk menghindari Al. Ketika jam istirahat, aku
selalu menyibukkan diri dengan organisasiku agar tak ada alasan untuk Al
mengajakku makan. Dan ketika pulang, aku selalu pulang dengan Rizki dan bilang
kalau aku akan ke rumah Rizki untuk mengambil bukuku yang tertinggal. Setiap
hari selalu begitu hingga hari ketujuh aku sudah lagi tak kuat melihat Al yang
sudah tak mau lagi memerjuangkan aku, pacarnya.
Akhirnya…malam itu,
“Kayaknya kita udah nggak bisa sama-sama lagi, deh, Al. Kita udah
nggak kayak dulu lagi”
“Maksut kamu?”
“Aku ngerti kamu udah nggak nyaman lagi sama aku, kamu nggak bahagia
lagi sama aku. Aku bukan boneka yang seenaknya bisa kamu mainin. Semoga kamu
ingat janji kita dulu bahwa gak ada satupun dari kita yang bakal selingkuh. But you contravened. You broke all I give to you. Aku udah
nggak bisa sama kamu lagi.”
---
Seminggu setelah aku dan Al berpisah, hidupku masih kelabu. Wajah
Al masih terus berotasi di kepalaku. Berbagai kejadian yang kami lewati berdua
selama berpacaran bergantian mencabik-cabik hatiku.
Sejak putus dari Al, aku pergi ke Villa milik papa yang berada di
Puncak. Sendirian. Aku menyukai air, aku menyukai tanaman hijau, aku menyukai
keindahan. Dan salah satu cara mengisi lagi keceriaanku yang hilang ini, ya
dengan cara liburan. Puncak, I’m coming!
Aku berangkat dari Jakarta ke Puncak sendirian. Perbekalanku untuk
–entah aku akan menginap berapa lama- di Puncak memenuhi mobil. Mobil ini
rasanya penuh dan sesak. Sengaja aku nggak bilang pada Rizki kalau aku akan
liburan di Puncak, karena Rizki masih sangat disibukkan oleh berbagai tes untuk
masuk Perguruan Tinggi, katanya sih begitu. It’s
okay akupun belum cerita ke Rizki kalau aku putus dengan Al.
---
Hampir seminggu aku berada di Villa dan aku sangat menikmati
liburanku kali ini. Aku bisa bebas melakukan apapun yang aku mau. Berekspresi,
berkreasi dan berinovasi sesuka hati dan pikiranku. Namun, tiba-tiba aku
teringat Rizki, apa kabar ya anak itu. Seminggu aku mengurung diri dari
keramaian ibu kota dan seminggu pula aku tak menghubungi Rizki. Sengaja ku
non-aktifkan handphone dan semua social mediaku. Bagaimana kalau Rizki
bingung mencariku? Bagaimana kalau Rizki mengira aku pergi ke luar negeri? Bagaimana
kalau Rizki datang ke rumah beribu kali hanya untuk bertemu denganku? Bagaimana
kalau Rizki akhirnya lapor ke kantor polisi karena menganggapku hilang? Ah, aku
sangat tau bagaimana Rizki ketika panik tidak bertemu denganku sehari saja.
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Papa, bertanya sudah berapa kali Rizki
datang ke rumah.
“Rizki nggak dateng ke rumah sama sekali, Aisyah, Papa juga heran
biasanya dia bingung nyari kamu tapi kali ini enggak.”
Mendengar jawaban Papa, aku semakin khawatir. Kuhubungi belasan
kali tetapi nomornya malah non-aktif, belasan kali pula aku mention ke akun
twitternya juga nggak ada balesan. Aku makin cemas dengan keadaan Rizki. Dia
kemana, ya?
---
Meski sudah lebih dari seminggu berada di Villa, aku masih tidak
bisa sepenuhnya menghilangkan Al dari pikiranku. Aku dan Al benar-benar sudah lost contact. Dan, yang kudengar
terakhir kali dari Maya, teman sebangkuku saat SMA, Al sudah diterima menjadi
mahasiswa Teknik Kimia di Universitas Indonesia. Ya, dulu, saat kita pacaran,
Al selalu bercerita kepadaku tentang impiannya untuk menjadi anak TekKim.
“Kalau aku nanti masuk Teknik Kimia, pengen deh bikin bom. Untuk
meledakkan cintaku ke kamu.” aku masih sangat ingat ketika Al mengatakan
gombalan itu. Mainstream sih, tapi cewek mana sih yang nggak blushing
digombalin cowoknya.
Aku sudah mencoba membuang semua kenanganku bersama Al, semua
barang-barang yang pernah Al beri padaku sudah kubuang jauh-jauh hari. Nomor Al
sudah aku remove dari contact phoneku. Aku mencoba meniadakan
apapun yang berhubungan dengan Al. Namun, satu yang sangat sulit dihilangkan, aku
harus bertemu Rere, adik semata wayang Al setiap hari. Ya, setiap hari aku
harus memberikan les bahasa asing tambahan untuk Rere. Syukurlah liburan ini
benar-benar kumanfaatkan untuk menghilang sejenak dari Rere, bukan, maksutku
menghilang sejenak dari bayang-bayang Al. Karena aku tahu, salah satu melupakan
masa lalu adalah dengan tidak melupakannya, tapi mengubah persepsi serta cara
kita memandangnya.
-dua tahun
kemudian-
Setelah hampir empat puluh tujuh bulan aku dan Rizki tidak bertemu
dan tidak bertukar kabar, setelah pertemuan terakhirku dengan Rizki di Glory’s
Restaurant yang kita anggap sebagai ‘our
last night for ever’ dan kemudian kita menyibukkan diri masing-masing.
Rizki datang dengan banyak sekali hal baru. Dan yang paling bikin kaget adalah
ternyata dia kuliah di Singapura. Beasiswa. Sedikitpun Rizki ngga pernah cerita
tentang itu kepadaku. Wajahnya masih sama dengan –menurutku yang paling menarik
dari diri Rizki- tahi lalat di atas bibirnya yang semakin membuatnya terlihat
lebih manis. Namun, ada yang terlihat beda dari penampilan Rizki kali ini,
“Ah elo pake kacamata sekarang Nyet???? Ah gila lo udah kayak
bapak bapak kantoran aja dah” celetukku setelah mengamati apa yang berbeda dari
Rizki.
“Kenalin, gue Rizki Abriel, Communication Manager of Abriels
Group. Dan lo gaboleh panggil gue ‘nyet’ lagi, malu keleus sama dasi gue.
Hahaha” jawabnya dengan penuh wibawa.
Aku Cuma bisa melongo dan pasang wajah paling bego. Ini bukan
mimpi kan? Seorang Rizki yang tak sengaja kutumpahkan minumanku saat hari
pertama MOS di sekolah menengah pertama, seorang Rizki yang tak pernah absen
mengikuti bimbel pagi hingga malam di SMA, seorang Rizki yang selalu kena marah
ibu kost-nya karena pulang dari rumahhku lebih dari jam malam hanya untuk
mengajariku mengulang pelajaran fisika yang tak kupahami di kelas, seorang
Rizki yang… Ah, jadi Rizki beneran jadi Communication Manager of Abriels Group?
Ini cita-citanya banget dari dulu. Meskipun itu perusahaan milik keluarganya,
Ayah Rizki tidak pernah mengajarkan hal instan untuk mencapai kesuksesan kepada
anaknya. Beliau pernah bilang kepadaku, tidak ada manusia yang dilahirkan
langsung menjadi presiden, semua butuh proses dan usaha keras.
Dua tahun nggak ketemu dan nggak tahu apa-apa tentang Rizki
membuatku kepo tingkat dewa dengan kehidupannya yang sekarang. Rizki orangnya
rajin dan pekerja keras. Dan yang paling surprised
dari Rizki adalah, dia berhasil ngejalanin kuliah yang harusnya empat tahun
jadi dua tahun dan itu beasiswa di luar negeri! Dan langsung diterima kerja!
Emang sakit nih anak.
Setelah hampir tiga jam berada di sebuah kafe di daerah Jakarta
Pusat, aku dan Rizki memutuskan untuk mengakhiri percakapan penuh rindu kami
malam itu. Meskipun masih banyaaaak sekali hal yang ingin kami ceritakan.
Kangen banget dua tahun nggak ketemu.
“Aisyah Mevreylisa, besok jam 9 Saya tunggu Anda di Simpang Susun
Cawang. Tidak boleh terlambat dan harus datang sendirian. Anda mengerti?” Rizki
berbicara layaknya bos kepada sekertaris pribadinya. Aku hanya mampu menahan
tawa kecilku hingga akhirnya kita berdua sama-sama tertawa bersama. Larut dalam
kebahagiaan yang sangat kurindukan.
---
Pagi ini aku bangun lebih awal dan mempersiapkan semua yang diminta
Rizki. No phone, no gadget, no food, no
snack, dan bawa baju ganti yang tebel, katanya sih bakal kedinginan. Ah
bikin kepo. Tepat pukul delapan lewat tujuh belas menit, aku berangkat. Untuk
mengantisipasi kemacetan karena Rizki nggak mau aku terlambat.
Setelah sampai di Simpang Susun Cawang tepat pukul 08:45, ternyata
Rizki sudah menungguku dari lima belas menit yang lalu. Let’s go to the freedom!!!
“Pokoknya kamu janji kamu harus nurut semua peraturan yang udah
aku buat selama seharian ini, ya, Ai?”
“Siap Bapak Rizki Abriel, Communication Manager of Abriels Group!”
---
Perjalananku dan Rizki sudah hampir memakan waktu enam jam, tapi
Rizki masih dengan mata segar mengendarai mobilnya, padahal, disampingnya,
entah sudah berapa kali aku menguap menahan kantukku. Aku dan Rizki sama-sama
menyukai perjalanan. Menurutku perjalanan adalah nafas dan bagi Rizki
perjalanan adalah detak jantung.
Dan tibalah di sebuah –yang mungkin bisa disebut- Villa. Gila ini
villa bagus banget! Seperti martabak manis dengan potongan dadu keju mozarella ditambah chocolate melted diatasnya. Elegan. Aku memasuki villa itu dengan
takjub. Dengan rasa kagum yang berlebih, hingga tak kuhiraukan Rizki. Demi
apapun ini villa paling keren dari villa-villa yang kutahu sebelumnya. Dan yang
paling mengalihkan perhatianku adalah, ada sebuah bingkai besar yang terpasang
di dinding dekat akuarium yang menghadap ke selatan, yang penuh dengan
foto-fotoku. Dari foto-fotoku saat bayi hingga foto-fotoku paling konyol yang
pernah ada. Langkahku tak berhenti di bingkai besar itu saja, mataku tergerak
ke sebuah taman penuh dengan tanaman mawar. Dan ini adalah taman mawar terindah
yang pernah kutemui. I love this place.
“Mawar-mawar itu kutanam dari setelah kamu tumpahkan es teh kamu
ke bajuku mungkin delapan tahun yang lalu. Sejak delapan tahun itu pula aku
merasa hidupku lebih hidup bersama kamu, Aisyah. Sekarang, aku punya satu mawar
merah dan satu mawar putih, silahkan kamu pilih mawar mana yang akan jadi mawar
keseribu di taman ini.”
“Rizki Abriel, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
Akan kutanam mawar putih ini sebagai satu diantara sembilan ratus sembilan
puluh sembilan lainnya. Satu yang lupa kuceritakan padamu tadi malam, aku telah
bertemu sosok yang juga membuatku semakin hidup sekarang, namanya Jihan
Muhammad.” Aku mencoba menghadirkan senyum diantara patah kata yang kutata rapi
untuk kuutarakan. Aku memeluk Rizki dan menangis di pundaknya. Benar kata Rizki
malam ini akan sangat dingin. Aku menggigil. Tapi aku mengerti Rizki lebih kedinginan
di dalam air matanya yang ia tahan sendiri.
Perjalanan memang kadang melelahkan, tetapi diantara penat dan
lelah, perjalanan selalu menghadirkan tantangan dan menghadiahkan kenangan.
Minggu depan aku dan Jihan akan berangkat ke Turki untuk melanjutkan kuliah di
sana. Dan Rizki akan kembali ke Singapura untuk melanjutkan cita-citanya.
Mawar putih itu tak pernah sendirian, ia memiliki sembilan ratus
sembilan puluh sembilan mawar merah yang akan selalu menyayanginya. Dan mawar
merahpun memiliki mawar putih yang akan selalu menjadi malaikat mereka dan
sekaligus menjadi saksi perjalanan cinta diam-diam yang dipendam seorang
laki-laki selama delapan tahun.
“Lelahmu jadi lelahku juga, bahagiamu
bahagiaku pasti…
Berbagi takdir kita selalu kecuali tiap
kau jatuh hati…”
Suara di ujung i-pod kecil berwarna putih sedikit keabu-abuan
karena sudah terlalu lama berada di tanganku itu masih terus melantun. Iya,
Malaikat Juga Tahu. Entah apa sebabnya aku bisa jatuh cinta pada lagu tersebut,
yang jelas, aku selalu memutarnya saat berada di ujung jalan raya di
persimpangan menuju kantorku di Kedutaan Besar Indonesia di Turki.
Sabtu, 05 Juli 2014
delapan belas minggu yang lalu
Hai, apa kabar kamu?
Tidak terasa ya sudah delapan belas minggu...
Saya masih ingat delapan belas minggu yang lalu, sabtu tengah malam, kamu tidak membiarkan saya terlelap, kamu tetap terjaga meski saya tahu kamu sedang menahan kantuk.
Kamu tidak pernah tahu kan? Setiap sabtu malam, saya selalu teringat dengan apa yang kamu katakan delapan belas minggu yang lalu, tepat pukul 00:00.
S p e e c h l e s s
Sekarang, saya hanya bisa menulis tulisan-tulisan galau tidak berguna ini sama seperti sebelum delapan belas minggu yang lalu.
Hai, apa kabar kamu?
Persetan dengan kamu yang tidak suka dengan dunia maya,
Maafkan saya hanya mampu berucap didalam kemayaan,
Saya sangat merindukan kamu (:
Tidak terasa ya sudah delapan belas minggu...
Saya masih ingat delapan belas minggu yang lalu, sabtu tengah malam, kamu tidak membiarkan saya terlelap, kamu tetap terjaga meski saya tahu kamu sedang menahan kantuk.
Kamu tidak pernah tahu kan? Setiap sabtu malam, saya selalu teringat dengan apa yang kamu katakan delapan belas minggu yang lalu, tepat pukul 00:00.
S p e e c h l e s s
Sekarang, saya hanya bisa menulis tulisan-tulisan galau tidak berguna ini sama seperti sebelum delapan belas minggu yang lalu.
Hai, apa kabar kamu?
Persetan dengan kamu yang tidak suka dengan dunia maya,
Maafkan saya hanya mampu berucap didalam kemayaan,
Saya sangat merindukan kamu (:
Rabu, 02 Juli 2014
'your not important reading'
Saya tidak tau harus memulai
tulisan ini darimana, saya juga tidak seutuhnya yakin akan menulis ini. Rasanya
masih tidak bisa terima dengan semua ini. Masih tidak bisa terima kalau sudah
tidak ada lagi kita. Yang ada kini hanya saya minus kamu dan semua kenangan
yang akan saya simpan rapi.
Rasanya saya tidak pernah
merasakan sakit seperti ini sebelumnya. Saya juga tidak pernah berada dalam
keadaan se-dilema ini sebelumnya. Mau maju rasanya tidak mungkin, mau mundur
rasanya mustahil. Mau bertahan sama dengan menyiksa diri lebih dari ini.
Memang benar pepatah bilang, dalamnya hati manusia siapa yang tau. Ya.
Yang awalnya bilang A bisa saja akhirnya bilang Z. Yang benci bisa jadi cinta,
yang cinta bisa jadi benci. Yang dulunya deket bisa saja sekarang seperti orang
asing. Yah, namanya juga manusia, punya banyak topeng dan bisa mainin peran
apapun dalam hidupnya. Sama seperti saya yang masih ndak percaya kalau kamu
akan menyerah secepat ini.
Saya mengerti, tidak baik
mencintai yang selain Allah secara berlebihan, karena semua itu pada akhirnya
akan hilang juga, entah diambil Allah ataupun diambil orang lain. Dan saya juga
mengerti, saya terlalu mencintai kamu, dan tidak akan pernah siap kehilangan
kamu. Maka, saat kamu memutuskan untuk menyudahi ini semua, saya tetap, tetap
tidak bisa kehilangan kamu. Saya masih mengkhawatirkan kamu. Seperti angin yang
menggugurkan daun-daun kering, saya pasrah begitu saja. Karena, sekuat apapun
tangan menggenggam, kalau hati maunya terlepas, I have do nothing.
Memang tidak ada yang percuma di
dunia ini, tidak ada apapun yang sia-sia. Apalagi, setelah sekian lama saya
bertahan untuk kamu, setelah sejauh ini saya memperjuangkan kamu, setelah semua
yang kita lakukan, saya rasa tidak ada yang perlu disesali.
Saya hanya ini mengatakan, terima
kasih.
Terima kasih untuk perhatiannya
selama ini. Terima kasih untuk ucapan ‘met malem’ yang selalu kamu beri selama
ini. Terima kasih selalu mengingatkan untuk solat. Terima kasih selalu kasih
semangat untuk belajar. Terima kasih untuk puisinya (saya suka banget sama
puisi yang kamu buat, oh iya saya masih berhutang puisi padamu ya). Terima kasih untuk waktu yang sudah kamu berikan selama ini. Terima kasih sudah mengajarkan banyak hal kepada saya. Terima kasih sudah menghiasi
hari-hari saya, membuat bahagia, memberi warna. Terima kasih sudah pernah
menjadi bagian dari hidup saya. Semoga kamu selalu diberkahi Allah, ya. (:
*semangat ya belajarnya, semangat raih cita-citanya. i believe you can hold your dream.
Langganan:
Postingan (Atom)