Rabu, 31 Desember 2014

2 0 1 4

2014,
This year I loved. This year I hurted. This year I have lost. This year I have changed. This year was hard and difficult. But, the most important is I learned a lot. I met many great people. I did many things that was awesome and I was very thankful for it. Every things I have learned so told me, this is life. People come and go. I could be stranger with the people that I have loved. And I could be in love with the stranger. All my happiness and sadness may matured me.

So, stand up and realize that you deserve something better than a person that gives up on you.

Terima kasih untuk 365 hari yang penuh dengan pelajaran, wahai 2014. Saya tidak akan pernah menyesal dengan apapun yang telah saya lewati di tahun 2014. Semua hal pasti ada masanya. S-e-m-u-a-n-y-a. Seperti seseorang yang telah rela hadir dalam hidup saya di tahun 2014 ini. Terima kasih telah hadir meskipun akhirnya memilih pergi. You're my number one. You're still the one and only in my heart, for this year, next year and maaany years later.

Can We be the friend again in 2015? I hope.

Terima kasih 2014 dan selamat tahun baru 2015.


Rabu, 12 November 2014

for a

It still hurts when I hear or read your name.

I know what we had is over, but it's just so hard to think we used to text for ours. Look at us now, we're strangers again. And by the way, it's the loneliest thing in the world to see you everyday and remember that you once meant the world to me.





                                             your fuckin lover.

Jumat, 07 November 2014

after five months ago

Sudah hampir lima bulan sejak kita memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri lagi. Aku dengan duniaku, dan kamu dengan duniamu. Namun, ternyata pikiranku masih terbelenggu oleh bayangmu.

"Habis ini lalu apa? kamu sendirian. Aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?" - dewi lestari. 

Minggu, 31 Agustus 2014

Hai September, Hai Tuan.

Selamat pagi...
Secerah matahari pagi, siapapun kamu yang membaca ini, semoga hatimu secerah matahari pagi ini.
Tiga ratus tiga puluh lima hari yang lalu, dalam blog ini pula, aku menulis "Terima Kasih, September", sekarang September sudah hadir lagi, hadir dengan sejuta harapan baru.
Semoga September tahun ini benar-benar menjadi bulan milik Tuan (dan milik saya pula).




                                                       Me.

Selasa, 05 Agustus 2014

Seribu Mawar Dalam Diam



“Lelahmu jadi lelahku juga, bahagiamu bahagiaku pasti…
Berbagi takdir kita selalu kecuali tiap kau jatuh hati…”

Suara di ujung i-pod kecil berwarna putih sedikit keabu-abuan karena sudah terlalu lama berada di tanganku itu masih terus melantun. Iya, Malaikat Juga Tahu. Entah apa sebabnya aku bisa jatuh cinta pada lagu tersebut, yang jelas, aku selalu memutarnya saat berada di ujung jalan raya di depan salah satu pusat perbelanjaan besar di kotaku, sambil menunggu angkutan kota ketika akan berangkat ke sekolah.
Jarak dari rumahku ke sekolah memang tidak jauh, mungkin sekitar 15 menit jika ditempuh menggunakan angkutan kota atau lebih kece dengan sebutan angkot, namun akan lebih cepat lima menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Ya, jika naik sepeda motor bisa melalui jalan pintas. Namun, aku enggan jika harus berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor. Aku lebih senang jika pergi ke sekolah beramai-ramai bersama teman-teman.
Belakangan ini, setiap pagi aku selalu rapi dan siap untuk pergi ke sekolah. Aku selalu bersemangat jika urusan sekolah. Bagiku, di sekolah aku bisa melakukan kegiatan apapun yang aku suka. Bertemu teman-teman, ngejailin adik kelas dan makan mie ayam favoritku di kantin. Berkebalikan. Beda ketika sudah  berada di rumah, rasanya aku tidak ingin benar-benar menjadi diriku ketika berada dirumah. Sepi.
Sepeninggalan ibuku sekitar 2 bulan yang lalu. Aku merasa ada separuh dari jiwaku yang ikut pergi bersamanya. Selamanya dan tak pernah kembali. Mungkin, disana ibu sudah bahagia di tempat barunya, namun, aku masih saja sering meneteskan air mata ketika mengingat semua momen yang telah terlewati bersama ibu, atau hanya memandangi fotonya yang terbingkai dengan indah, akupun sering menangis.
Tepat 2 minggu lagi aku akan mengikuti Ujian Nasional tingkat SMA. Saat UNAS tingkat SMP 3 tahun lalu, Ibulah satu-satunya orang yang tak pernah lelah selalu menyemangatiku untuk belajar dengan giat.
“Kamu harus rajin belajar, Nak. Ibu pasti akan bangga jika kamu bisa meraih semua impianmu.” Begitulah yang selalu Ibu ucapkan padaku. Dan kini, kata-kata itu masih memenuhi seluruh bagian kepalaku. Berotasi semaunya dan enggan pergi. Aku rinduuuuu sekali pada Ibu.
Namun, tidak untuk sekarang. Semuanya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Saat UNAS tahun ini. Mungkin, Tuhan akan mengangkat derajatku dengan cobaan ini. Cobaan yang terlampau berat bagiku. Tanpa kehangatan sosok Ibu.

---

“Ah siaaaaaaaaall aku kesiangan” ucapku kesal. Aku langsung bergegas menuju kamar mandi.
Tidak seperti biasanya. Pagi ini aku terlambat bangun. Mungkin karena semalam, aku terlalu lelah mengerjakan tugas-tugas sekolahku, padahal hari ini ada ulangan Fisika. Ah entahlah apa yang akan terjadi nanti di sekolah.
“Aisyaaaaaaaahhhh…….”
Teriakan yang selalu aku dengar setiap pagi. Sudah tidak asing lagi di telingaku. Ah Rizki.
“Loh, kenapa lo belum masuk kelas? Oh iya, kok bisa sih pintu gerbang belum ditutup? Ah padahal gue kira gue udah pasti telat nih.”
“Pak satpam tercinta kita hari ini absen. Katanya sih lagi pergi, jadi……..”
“Jadi gue gak telat!”
Aku menarik tangannya sambil berlalu. Ia terbahak dengan tertawanya yang khas. Sesedih apapun jika sudah bersama Rizki semua menjadi beda. Menuju kelas sebelum jam pertama dimulai.

---

“Hari ini kita ke taman yuk, Ai. Bosen nih gue ketemu buku mulu. Refreshing dikit lah.”
“Aaaah….. Iyadeh tau sahabatku yang paling rajin.” nada bicaraku sedikit menggodanya.
“Gue serius nih, Ai. Gue jemput lo jam 4 sore. Pokoknya lo udah harus siap di depan rumah lo.”
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk jika sudah dihadapkan dengan tatapan memelasnya yang sulit untuk ditolak. Rizki memang paling jago merayuku. Dan, Rizki membuatku membatalkan janjiku kepada Riana untuk mengantarkannya ke Sarinah untuk membeli sepatu yang katanya lagi nge-trend saat ini. Ah semoga saja Riana bisa memaklumiku.

---

“Taman ini lebih indah dari biasanya ya, Ai.”
“Lah apanya yang beda, Ki?”
Jawabanku seolah memang tidak mengerti dengan pernyataan Rizki, padahal dalam hatiku, aku sangat setuju dengannya. Ya, taman ini memang lebih indah dari biasanya. Entah apa yang membuatnya lebih indah.
“Soalnya gue lagi duduk sama bidadari jatuh dari surga.”
“Lah apaan sih lo, Ki, gue bidadari jatuh dari motor lo karena lo ngerem mendadak tadi.”
Rizki lalu tertawa terbahak dengan ke-khas-annya. Sedangkan aku memasang muka bete. Rizki memang sering dan terlampau sering menggodaku seperti ini. Tapi entah mengapa, dia juga selalu berhasil membuatku mendadak bete. Ah ternyata aku belum juga kebal dengan rayuannya.
Tidak seperti biasanya saat berdua bersama Rizki, kali ini kita berdua sama-sama diam. Hening. Dan hanya suara angin sore yang terdengar. Kadang terdengar riuhan anak-anak kecil yang asyik bermain di taman pasir di sudut taman ini.
“Gue mau ngomong sesuatu, Ai.” Akhirnya suara Rizki berhasil memecah keheningan yang tercipta. Tercipta karena ego kita berdua? Ah mungkin tidak.
“Mau ngomong apa lo? Ngomong aja kali biasanya lo langsung nyablak gitu kan.” Aku berusaha santai menjawab pertanyaan Rizki. Berusaha santai? Ah memangnya aku sedang berbicara dengan siapa? Menteri? Presiden? Aku hanya berbicara dengan sahabatku. Rizki. Aku tertawa dalam hati.
Rintik air hujan menetes di keningku. Awalnya tidak terlalu deras, tapi lama-kelamaan berubah menjadi hujan yang deras, bersama angin yang mengikutinya. Aku dan Rizki berlari kemanapun menuju tempat yang bisa kita singgahi untuk berteduh sementara, sampai akhirnya kita berada pada sebuah warung. Tidak besar namun tidak juga terlalu kecil. Setidaknya aku dan Rizki tidak lagi kehujanan.
“Mas sama Mbaknya mungkin mau minum?”
Suara pemilik warung tersebut terdengar ramah, logat orang jawa. Iya, mungkin benar pendatang dari Jawa. Warung-warung di sekitar taman kota ini memang tak ada satupun yang pemilik warungnya berasal dari Jakarta. Seluruhnya pendatang dari berbagai macam pulau di Indonesia.
“Saya mau jahe hangat saja, Bu.” aku membalasnya dengan senyuman yang tak kalah ramah dari Ibu pemilik warungnya.
“Saya juga, Bu.” Rizki menimpali ucapanku. Ia tersenyum. Maniiiiisss sekali.
Setelah berbincang-bincang sambil meminum jahe hangat di warung yang ternyata nama pemiliknya Bu Mirna, sekitar 30 menit, akhirnya hujan mulai reda. Aku membayar kemudian buru-buru mengajak Rizki pulang.
“Kenapa buru-buru gitu sih, Ai?”
“Lo gak denger adzan noh? Ini udah magrib nyet buruan deh lo bawa motornya.”
Rizki mengangguk menandakan mengerti. Ia buru-buru tancap gas mengendarai beat putihnya. Selamatlah karena jalanan Jakarta saat itu tidak terlalu padat.
“Makasih ya nyet, buruan pulang deh ntar lo dicari ibu kost lo yang paling galak sedunia. Oh iya buat yang mau lo omongin tadi, besok aja di sekolah ye.”
Aku menutup pagar rumah dan langsung masuk. Tapi Rizki masih saja berdiam diatas motornya. Memang kadang dia sedikit lola. Tapi dia terlampaui baik untukku.

---

Hari ini tepat H-7 menuju UNAS. Aku masih sibuk dengan berbagai buku persiapan UNAS. Bimbingan belajar dan doa bersama. Tapi sesibuk apapun aku tak pernah seharipun tak bertemu dengan Rizki. Manusia satu itu rupanya sudah memiliki magnet untuk selalu menarikku dekat-dekat dengannya. Tapi, tak pernah sekalipun aku merasa bosan dengan Rizki. Kadang, dia bak pahlawan yang selalu membelaku. Kadang, dia juga menjelma sebagai Sule bagiku, yang selalu menghiburku ketika aku rindu pada Ibu.
“Eh yang kapan hari itu lo belom cerita ye? Cerita gih sekarang.”
“Gak ah gue malu, Ai.”
“Tumben-tumbenan lo punya malu.” Kali ini aku tertawa terbahak sambil menepuk pundaknya.
“Ah lo gak lucu tau, Ai. Gue serius nih.” Rupanya Rizki benar-benar serius. Air wajahnya memang benar-benar serius. Iya. Serius.
“Yaudah Rizki yang paling ganteng 11-12 sama Christian Ronaldo, cerita gih. Gue juga ada yang mau gue certain sama lo, dan ini penting banget lo harus tau.”
“Gue tuh naksir sama cewek, Ai, udah lumayan lama sih. Cewek itu pokoknya beda banget lah sama cewek lainnya. Cantik, baik, pinter, pokoknya gue udah terlanjur sayang banget sama dia.”
“Beuuuh, sedap mah cerita lo nyet. Kenapa lo baru cerita sekarang sih? Tau gitu kan gue bisa bantuin lo daridulu. Yaudah tembak aja deh cepet keburu dia diembat orang lain kan.”
“Nah itu yang jadi masalahnya, Ai, gue belum juga berani ungkapin ke dia, gue takutnya dia gak punya perasaan yang sama kayak apa yang gue rasain.”
“Ah lo upay banget sih, Ki.” Kali ini aku menyebut namanya. Tak lagi dengan panggilan ‘nyet’-ku yang khusus kuberikan untuknya. Kali ini suasananya cukup mencekam. Rizki sedang jatuh cinta. Ini yang pertama kalinya aku mendengar curhatan Rizki tentang cinta. Sebelum-sebelumnya, aku selalu mendengar curhatannya tentang ibu kost-nya. Ah aku sudah hafal diluar kepala tentang ibu kost Rizki.
“Gue bingung, Ai. Ah tapi gue mau fokusin diri gue buat hadepin UNAS dulu. Gampang deh ntar abis UNAS gue coba. Lo mau cerita apa, Ai?”
“Gue baru aja taken, Ki!” aku menatap Rizki dalam-dalam. Kutunjukkan senyumanku paling meriah, tapi Rizki terlihat lebih murung. 6 tahun bersama Rizki membuat aku hafal benar mimik-mimik wajahnya. Dan kali ini aku tau ia terpaksa memasang senyumnya untukku.
“Lo jadian? Gila Aisyah, seminggu lagi tuh UNAS dan lo malah jadian? Bener-bener parah lo!”
“Iye iye gue tau, Ki, maksut gue itu gue bakal buktiin sama semua orang yang bilang kalau pacaran itu cuma bisa ganggu akademik lah, gak guna lah, atau apa aja yang pernah gue denger. Gue pengen buktiin ke mereka semua. Termasuk elo, Ki.” Kali ini aku benar-benar menatap Rizki tajam. Meyakinkannya.
“Jadi lo gak bener-bener cinta gitu sama pacar lo? Emang siapasih? Gue kepo gilaa.”
“Ya gue cinta lah, Ki. Lo tau kan gue gak bakal mau pacaran kalau cuma dijadiin mainan? Pacar gue tuh anak futsal, kapten tim futsal SMA Nusantara tercinta ini bro… nama aslinya sih Al-Ghifari, tapi dia biasa dipanggil Al sama temen-temennya.”
“Al? Al anak XII-IPA2? Gila lo, gue gak pernah liat lo deket sama dia deh. Bisa-bisanya ya jadian. Parah gila lo, Ai.”
“Hahahaha hebat kan gue bisa rahasiain dari lo.” Lagi-lagi gue tertawa dan tertawa. Tapi Rizki masih biasa saja dengan semua yang sudah kuceritakan panjang lebar padanya.

---

Jam sekolah hari ini berakhir tepat pukul 14.00. Sesampainya di rumah, secepat mungkin aku rebahkan badanku yang sudah remuk berkeping ini. Hari ini cukup dan sangat melelahkan.

---

“Rencananya lo mau lanjutin sekolah dimana, Ki?”
Entah setajam apa pertanyaanku itu bagi Rizki, hingga ia tersedak kaget. Aku lantas menepuk-nepuk punggungnya sebagai tanda perhatianku. Setelah keadaan membaik, Rizki tidak secepatnya menjawab. Ia hanya terdiam dan sedikit melamun.
“Kalau gue sih Jakarta ajalah. Tapi gue pengen banget sebenernya kuliah di Bali, ya lo tau lah gue pengen jadi tour-guide professional gitu.”
“Tapi lo kan cewe, Ai, lu itu harusnya jadi anak kampus yang baik yang ntar kerjanya di kantoran.”
“Kantoran ber-AC yang duduk di kursi goyang gitu? Ah basi lo, Ki.”
Aku mengerti maksud Rizki mengalihkan perhatianku dari pertanyaanku tadi. Ah, aku tidak bisa tertipu. Aku terus mengejar jawaban Rizki atas pertanyaaku tadi.
“Jadi, lo mau lanjutin dimana, Ki?”
“Ntar juga lo bakal tau, Ai.”
Dan, Rizki masih kekeuh merahasiakannya dariku. Dari pengalamanku bertahun-tahun jadi sahabat paling dekatnya, aku paham betul jika Rizki mulai sembunyi-sembunyi dariku. Dia ada apa-apa.

---

Sudah lama sejak sibuk dengan persiapan Ujian Nasional, aku tidak pergi ke bioskop, dan malam ini kuputuskan akan mengajak Al nonton film terbaru. Hubunganku dengan Al semakin erat. Tanpa kusadari hubungan ini ternyata telah kujalani hampir dua bulan. Aku selalu terpesona entah keberapa kalinya jika berdua dengan Al. Al mampu menguasai seluruh sudut di otakku, yang memaksaku untuk terus memikirkannya. Jika malam datang, wajahnya pun ikut datang bersama bintang-bintang yang bercahaya. Ah sepertinya aku benar-benar jatuh hati.
Setelah dari bioskop, Al mengajakku makan malam. Ini dinner pertama kami. Di sebuah restoran mahal di Jakarta Barat. Al memang orang yang misterius, tapi di sisi lain ternyata dia sama seperti laki-laki di Ftv yang ngebawain bunga buat pacarnya. Iya, Al romantis.
 “Terimakasih buat dua bulan yang indah ini ya, Aisyah. Kamu adalah sosok penting bagi hidupku. Aku harap, masih ada tanggal 9 yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya”
“Justru harusnya aku yang berterimakasih sama kamu, Al. Kamu adalah alasan senyumanku setiap hari. Alasanku untuk semangat. Selamat tanggal 9!”
Tidak mencoba sok romantis atau memang benar-benar romantis, malam itu adalah tanggal jadian kita yang kedua kalinya, tepat dua bulan dari 9 April. Tidak ada lilin atau coklat yang menghiasi pemandangan diantara kita berdua malam itu. Hanya dinner kecil-kecilan ditemani lagu Just The Way You Are-nya Bruno Mars. Sumpah demi apapun, Al ganteng malam itu.

---

Sekitar satu bulan setelah malam itu, entah mengapa hubunganku dan Al semakin tidak harmonis. Kami sering mempertengkarkan hal sepele yang tidak pernah kami hiraukan sebelumnya. Al bilang aku terlalu ingin dimanja, diperhatikan dan disayang-sayang. Cewek mana sih yang nggak pengen di manjain cowoknya? Cewek mana sih yang nggak mau diperhatikan pacarnya? Dan cewek mana sih yang nggak luluh di elus-elus rambutnya pas lagi sedih sama kekasihnya? Aku selalu ngertiin Al, selalu ngalah supaya Al nggak bete, tapi, bukankah cinta harus saling melengkapi? Jika hanya ada satu pihak yang berjuang, apa masih bisa disebut cinta? Kami sudah nggak bisa lagi terus-terusan ada di keadaan seperti ini. Keadaan ini terlalu menyakitkan bila harus terus ditahan. Sudah lebih dari satu kali Al selalu memberi alasan ketika akan aku ajak pergi, hanya sekadar makan malam. Al selalu bilang dia lagi latihan futsal lah nganterin adeknya lah dan selalu begitu.
Pernah suatu hari ketika aku ajak Al pergi ke toko buku, ia menolak.
“Aku lagi nggak enak badan, Ai”
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri tanpa Al dan tanpa Rizki. Biasanya, aku selalu pergi ke toko buku ini bersama Rizki kemudian kita mampir ke kafe es krim di sebelah toko buku. Kafe itu tidak terlalu besar, dindingnya ber-wallpaper air terjun. Aku dan Rizki sangat suuuuka sekali dengan air, awalnya karena kita sering menghabiskan waktu kecil di sebuah kolam ikan di dekat rumah Rizki. Nggak perlu kemana-mana, kalau lagi bosen dan badmood, aku langsung ke kafe ini. Pemiliknya ramah, Om Roy namanya, sejak SMP kita selalu mampir kesini tiap pulang sekolah.
Pas lagi baca-baca buku, nggak sengaja pandanganku terarah pada seorang cowok dan cewek yang tampaknya mereka sepasang kekasih, bergandengan mesra. Tapi, sepertinya aku kenal dengan cara berjalan sang cowok. Kuamati terus hingga mereka membalikkan wajahnya ke arahku, dan ternyata…AL! Aku sempet nggak percaya kalau itu Al, aku buka mataku lebar dan semakin lebar, dan benar itu Al. Betapa terkejutnya aku saat itu, melihat dengan mata kepalaku sendiri cowok yang katanya lagi sakit di rumah ternyata jalan berdua sama cewek lain. Hatiku kayak ditusuk oleh ratusan bambu runcing sekaligus. Sakit.
Setelah kejadian malam itu, aku tidak pernah menghubungi Al. Aku selalu berangkat lebih awal untuk menghindari Al. Ketika jam istirahat, aku selalu menyibukkan diri dengan organisasiku agar tak ada alasan untuk Al mengajakku makan. Dan ketika pulang, aku selalu pulang dengan Rizki dan bilang kalau aku akan ke rumah Rizki untuk mengambil bukuku yang tertinggal. Setiap hari selalu begitu hingga hari ketujuh aku sudah lagi tak kuat melihat Al yang sudah tak mau lagi memerjuangkan aku, pacarnya.
Akhirnya…malam itu,
“Kayaknya kita udah nggak bisa sama-sama lagi, deh, Al. Kita udah nggak kayak dulu lagi”
“Maksut kamu?”
“Aku ngerti kamu udah nggak nyaman lagi sama aku, kamu nggak bahagia lagi sama aku. Aku bukan boneka yang seenaknya bisa kamu mainin. Semoga kamu ingat janji kita dulu bahwa gak ada satupun dari kita yang bakal selingkuh. But you contravened. You broke all I give to you. Aku udah nggak bisa sama kamu lagi.”

---

Seminggu setelah aku dan Al berpisah, hidupku masih kelabu. Wajah Al masih terus berotasi di kepalaku. Berbagai kejadian yang kami lewati berdua selama berpacaran bergantian mencabik-cabik hatiku.
Sejak putus dari Al, aku pergi ke Villa milik papa yang berada di Puncak. Sendirian. Aku menyukai air, aku menyukai tanaman hijau, aku menyukai keindahan. Dan salah satu cara mengisi lagi keceriaanku yang hilang ini, ya dengan cara liburan. Puncak, I’m coming!
Aku berangkat dari Jakarta ke Puncak sendirian. Perbekalanku untuk –entah aku akan menginap berapa lama- di Puncak memenuhi mobil. Mobil ini rasanya penuh dan sesak. Sengaja aku nggak bilang pada Rizki kalau aku akan liburan di Puncak, karena Rizki masih sangat disibukkan oleh berbagai tes untuk masuk Perguruan Tinggi, katanya sih begitu. It’s okay akupun belum cerita ke Rizki kalau aku putus dengan Al.
---

Hampir seminggu aku berada di Villa dan aku sangat menikmati liburanku kali ini. Aku bisa bebas melakukan apapun yang aku mau. Berekspresi, berkreasi dan berinovasi sesuka hati dan pikiranku. Namun, tiba-tiba aku teringat Rizki, apa kabar ya anak itu. Seminggu aku mengurung diri dari keramaian ibu kota dan seminggu pula aku tak menghubungi Rizki. Sengaja ku non-aktifkan handphone dan semua social mediaku. Bagaimana kalau Rizki bingung mencariku? Bagaimana kalau Rizki mengira aku pergi ke luar negeri? Bagaimana kalau Rizki datang ke rumah beribu kali hanya untuk bertemu denganku? Bagaimana kalau Rizki akhirnya lapor ke kantor polisi karena menganggapku hilang? Ah, aku sangat tau bagaimana Rizki ketika panik tidak bertemu denganku sehari saja. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Papa, bertanya sudah berapa kali Rizki datang ke rumah.
“Rizki nggak dateng ke rumah sama sekali, Aisyah, Papa juga heran biasanya dia bingung nyari kamu tapi kali ini enggak.”
Mendengar jawaban Papa, aku semakin khawatir. Kuhubungi belasan kali tetapi nomornya malah non-aktif, belasan kali pula aku mention ke akun twitternya juga nggak ada balesan. Aku makin cemas dengan keadaan Rizki. Dia kemana, ya?

---

Meski sudah lebih dari seminggu berada di Villa, aku masih tidak bisa sepenuhnya menghilangkan Al dari pikiranku. Aku dan Al benar-benar sudah lost contact. Dan, yang kudengar terakhir kali dari Maya, teman sebangkuku saat SMA, Al sudah diterima menjadi mahasiswa Teknik Kimia di Universitas Indonesia. Ya, dulu, saat kita pacaran, Al selalu bercerita kepadaku tentang impiannya untuk menjadi anak TekKim.
“Kalau aku nanti masuk Teknik Kimia, pengen deh bikin bom. Untuk meledakkan cintaku ke kamu.” aku masih sangat ingat ketika Al mengatakan gombalan itu. Mainstream sih, tapi cewek mana sih yang nggak blushing digombalin cowoknya.
Aku sudah mencoba membuang semua kenanganku bersama Al, semua barang-barang yang pernah Al beri padaku sudah kubuang jauh-jauh hari. Nomor Al sudah aku remove dari contact phoneku. Aku mencoba meniadakan apapun yang berhubungan dengan Al. Namun, satu yang sangat sulit dihilangkan, aku harus bertemu Rere, adik semata wayang Al setiap hari. Ya, setiap hari aku harus memberikan les bahasa asing tambahan untuk Rere. Syukurlah liburan ini benar-benar kumanfaatkan untuk menghilang sejenak dari Rere, bukan, maksutku menghilang sejenak dari bayang-bayang Al. Karena aku tahu, salah satu melupakan masa lalu adalah dengan tidak melupakannya, tapi mengubah persepsi serta cara kita memandangnya.

-dua tahun kemudian-

Setelah hampir empat puluh tujuh bulan aku dan Rizki tidak bertemu dan tidak bertukar kabar, setelah pertemuan terakhirku dengan Rizki di Glory’s Restaurant yang kita anggap sebagai ‘our last night for ever’ dan kemudian kita menyibukkan diri masing-masing. Rizki datang dengan banyak sekali hal baru. Dan yang paling bikin kaget adalah ternyata dia kuliah di Singapura. Beasiswa. Sedikitpun Rizki ngga pernah cerita tentang itu kepadaku. Wajahnya masih sama dengan –menurutku yang paling menarik dari diri Rizki- tahi lalat di atas bibirnya yang semakin membuatnya terlihat lebih manis. Namun, ada yang terlihat beda dari penampilan Rizki kali ini,
“Ah elo pake kacamata sekarang Nyet???? Ah gila lo udah kayak bapak bapak kantoran aja dah” celetukku setelah mengamati apa yang berbeda dari Rizki.
“Kenalin, gue Rizki Abriel, Communication Manager of Abriels Group. Dan lo gaboleh panggil gue ‘nyet’ lagi, malu keleus sama dasi gue. Hahaha” jawabnya dengan penuh wibawa.
Aku Cuma bisa melongo dan pasang wajah paling bego. Ini bukan mimpi kan? Seorang Rizki yang tak sengaja kutumpahkan minumanku saat hari pertama MOS di sekolah menengah pertama, seorang Rizki yang tak pernah absen mengikuti bimbel pagi hingga malam di SMA, seorang Rizki yang selalu kena marah ibu kost-nya karena pulang dari rumahhku lebih dari jam malam hanya untuk mengajariku mengulang pelajaran fisika yang tak kupahami di kelas, seorang Rizki yang… Ah, jadi Rizki beneran jadi Communication Manager of Abriels Group? Ini cita-citanya banget dari dulu. Meskipun itu perusahaan milik keluarganya, Ayah Rizki tidak pernah mengajarkan hal instan untuk mencapai kesuksesan kepada anaknya. Beliau pernah bilang kepadaku, tidak ada manusia yang dilahirkan langsung menjadi presiden, semua butuh proses dan usaha keras.
Dua tahun nggak ketemu dan nggak tahu apa-apa tentang Rizki membuatku kepo tingkat dewa dengan kehidupannya yang sekarang. Rizki orangnya rajin dan pekerja keras. Dan yang paling surprised dari Rizki adalah, dia berhasil ngejalanin kuliah yang harusnya empat tahun jadi dua tahun dan itu beasiswa di luar negeri! Dan langsung diterima kerja! Emang sakit nih anak.
Setelah hampir tiga jam berada di sebuah kafe di daerah Jakarta Pusat, aku dan Rizki memutuskan untuk mengakhiri percakapan penuh rindu kami malam itu. Meskipun masih banyaaaak sekali hal yang ingin kami ceritakan. Kangen banget dua  tahun nggak ketemu.
“Aisyah Mevreylisa, besok jam 9 Saya tunggu Anda di Simpang Susun Cawang. Tidak boleh terlambat dan harus datang sendirian. Anda mengerti?” Rizki berbicara layaknya bos kepada sekertaris pribadinya. Aku hanya mampu menahan tawa kecilku hingga akhirnya kita berdua sama-sama tertawa bersama. Larut dalam kebahagiaan yang sangat kurindukan.

---

Pagi ini aku bangun lebih awal dan mempersiapkan semua yang diminta Rizki. No phone, no gadget, no food, no snack, dan bawa baju ganti yang tebel, katanya sih bakal kedinginan. Ah bikin kepo. Tepat pukul delapan lewat tujuh belas menit, aku berangkat. Untuk mengantisipasi kemacetan karena Rizki nggak mau aku terlambat.
Setelah sampai di Simpang Susun Cawang tepat pukul 08:45, ternyata Rizki sudah menungguku dari lima belas menit yang lalu. Let’s go to the freedom!!!
“Pokoknya kamu janji kamu harus nurut semua peraturan yang udah aku buat selama seharian ini, ya, Ai?”
“Siap Bapak Rizki Abriel, Communication Manager of Abriels Group!”

---

Perjalananku dan Rizki sudah hampir memakan waktu enam jam, tapi Rizki masih dengan mata segar mengendarai mobilnya, padahal, disampingnya, entah sudah berapa kali aku menguap menahan kantukku. Aku dan Rizki sama-sama menyukai perjalanan. Menurutku perjalanan adalah nafas dan bagi Rizki perjalanan adalah detak jantung.
Dan tibalah di sebuah –yang mungkin bisa disebut- Villa. Gila ini villa bagus banget! Seperti martabak manis dengan potongan dadu keju mozarella ditambah chocolate melted diatasnya. Elegan. Aku memasuki villa itu dengan takjub. Dengan rasa kagum yang berlebih, hingga tak kuhiraukan Rizki. Demi apapun ini villa paling keren dari villa-villa yang kutahu sebelumnya. Dan yang paling mengalihkan perhatianku adalah, ada sebuah bingkai besar yang terpasang di dinding dekat akuarium yang menghadap ke selatan, yang penuh dengan foto-fotoku. Dari foto-fotoku saat bayi hingga foto-fotoku paling konyol yang pernah ada. Langkahku tak berhenti di bingkai besar itu saja, mataku tergerak ke sebuah taman penuh dengan tanaman mawar. Dan ini adalah taman mawar terindah yang pernah kutemui. I love this place.
“Mawar-mawar itu kutanam dari setelah kamu tumpahkan es teh kamu ke bajuku mungkin delapan tahun yang lalu. Sejak delapan tahun itu pula aku merasa hidupku lebih hidup bersama kamu, Aisyah. Sekarang, aku punya satu mawar merah dan satu mawar putih, silahkan kamu pilih mawar mana yang akan jadi mawar keseribu di taman ini.”
“Rizki Abriel, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Akan kutanam mawar putih ini sebagai satu diantara sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya. Satu yang lupa kuceritakan padamu tadi malam, aku telah bertemu sosok yang juga membuatku semakin hidup sekarang, namanya Jihan Muhammad.” Aku mencoba menghadirkan senyum diantara patah kata yang kutata rapi untuk kuutarakan. Aku memeluk Rizki dan menangis di pundaknya. Benar kata Rizki malam ini akan sangat dingin. Aku menggigil. Tapi aku mengerti Rizki lebih kedinginan di dalam air matanya yang ia tahan sendiri.
Perjalanan memang kadang melelahkan, tetapi diantara penat dan lelah, perjalanan selalu menghadirkan tantangan dan menghadiahkan kenangan. Minggu depan aku dan Jihan akan berangkat ke Turki untuk melanjutkan kuliah di sana. Dan Rizki akan kembali ke Singapura untuk melanjutkan cita-citanya.
Mawar putih itu tak pernah sendirian, ia memiliki sembilan ratus sembilan puluh sembilan mawar merah yang akan selalu menyayanginya. Dan mawar merahpun memiliki mawar putih yang akan selalu menjadi malaikat mereka dan sekaligus menjadi saksi perjalanan cinta diam-diam yang dipendam seorang laki-laki selama delapan tahun.



“Lelahmu jadi lelahku juga, bahagiamu bahagiaku pasti…
Berbagi takdir kita selalu kecuali tiap kau jatuh hati…”

Suara di ujung i-pod kecil berwarna putih sedikit keabu-abuan karena sudah terlalu lama berada di tanganku itu masih terus melantun. Iya, Malaikat Juga Tahu. Entah apa sebabnya aku bisa jatuh cinta pada lagu tersebut, yang jelas, aku selalu memutarnya saat berada di ujung jalan raya di persimpangan menuju kantorku di Kedutaan Besar Indonesia di Turki.



Sabtu, 05 Juli 2014

delapan belas minggu yang lalu

Hai, apa kabar kamu?
Tidak terasa ya sudah delapan belas minggu...
Saya masih ingat delapan belas minggu yang lalu, sabtu tengah malam, kamu tidak membiarkan saya terlelap, kamu tetap terjaga meski saya tahu kamu sedang menahan kantuk.
Kamu tidak pernah tahu kan? Setiap sabtu malam, saya selalu teringat dengan apa yang kamu katakan delapan belas minggu yang lalu, tepat pukul 00:00.
S p e e c h l e s s
Sekarang, saya hanya bisa menulis tulisan-tulisan galau tidak berguna ini sama seperti sebelum delapan belas minggu yang lalu.




Hai, apa kabar kamu?
Persetan dengan kamu yang tidak suka dengan dunia maya,
Maafkan saya hanya mampu berucap didalam kemayaan,
Saya sangat merindukan kamu (:

Rabu, 02 Juli 2014

'your not important reading'

Saya tidak tau harus memulai tulisan ini darimana, saya juga tidak seutuhnya yakin akan menulis ini. Rasanya masih tidak bisa terima dengan semua ini. Masih tidak bisa terima kalau sudah tidak ada lagi kita. Yang ada kini hanya saya minus kamu dan semua kenangan yang akan saya simpan rapi.

Rasanya saya tidak pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya. Saya juga tidak pernah berada dalam keadaan se-dilema ini sebelumnya. Mau maju rasanya tidak mungkin, mau mundur rasanya mustahil. Mau bertahan sama dengan menyiksa diri lebih dari ini.

Memang benar pepatah bilang, dalamnya hati manusia siapa yang tau. Ya. Yang awalnya bilang A bisa saja akhirnya bilang Z. Yang benci bisa jadi cinta, yang cinta bisa jadi benci. Yang dulunya deket bisa saja sekarang seperti orang asing. Yah, namanya juga manusia, punya banyak topeng dan bisa mainin peran apapun dalam hidupnya. Sama seperti saya yang masih ndak percaya kalau kamu akan menyerah secepat ini.

Saya mengerti, tidak baik mencintai yang selain Allah secara berlebihan, karena semua itu pada akhirnya akan hilang juga, entah diambil Allah ataupun diambil orang lain. Dan saya juga mengerti, saya terlalu mencintai kamu, dan tidak akan pernah siap kehilangan kamu. Maka, saat kamu memutuskan untuk menyudahi ini semua, saya tetap, tetap tidak bisa kehilangan kamu. Saya masih mengkhawatirkan kamu. Seperti angin yang menggugurkan daun-daun kering, saya pasrah begitu saja. Karena, sekuat apapun tangan menggenggam, kalau hati maunya terlepas, I have do nothing.

Memang tidak ada yang percuma di dunia ini, tidak ada apapun yang sia-sia. Apalagi, setelah sekian lama saya bertahan untuk kamu, setelah sejauh ini saya memperjuangkan kamu, setelah semua yang kita lakukan, saya rasa tidak ada yang perlu disesali.

Saya hanya ini mengatakan, terima kasih.

Terima kasih untuk perhatiannya selama ini. Terima kasih untuk ucapan ‘met malem’ yang selalu kamu beri selama ini. Terima kasih selalu mengingatkan untuk solat. Terima kasih selalu kasih semangat untuk belajar. Terima kasih untuk puisinya (saya suka banget sama puisi yang kamu buat, oh iya saya masih berhutang puisi padamu ya). Terima kasih untuk waktu yang sudah kamu berikan selama ini. Terima kasih sudah mengajarkan banyak hal kepada saya. Terima kasih sudah menghiasi hari-hari saya, membuat bahagia, memberi warna. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidup saya. Semoga kamu selalu diberkahi Allah, ya. (:

*semangat ya belajarnya, semangat raih cita-citanya. i believe you can hold your dream.